This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, September 3, 2013

Cara Potong Kuku a la Rasul

Mungkin di antara kita atau kebanyakan kita, ketika memotong kuku asal-asalan—mulai dari tangan kiri atau kanan, pokoknya tak beraturan. Walaupun ia dilihat hanya perkara kecil, namun kadang-kadang ia adalah perkara besar.

Dalam beberapa perkara hukum Islam, kuku tidak seharusnya diabaikan oleh umat Islam. Misalnya ketika seorang dalam keadaan ihram haji atau umrah didenda membayar dam karena memotong kukunya. Demikian juga kuku bisa menyebabkan tidak sah-nya wudhu atau mandi junub, jika air tidak atau terhalang sampai ke kuku.
Beberapa permasalahan lainnya, yang berhubungan dengan kuku dari segi hukum, hikmah memotong kuku, memanjangkan dan mewarnanya akan dibincangkan dalam bahasan kali ini.

1. Hukum Dan Hikmah Memotong Kuku
Memotong kuku adalah amalan sunah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha: “Sepuluh perkara yang termasuk fitrah (sunnah): memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, memasukkan air ke hidung, memotong kuku, membasuh sendi-sendi, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu ari-ari, bersuci dengan air (beristinja), berkata Zakaria: “berkata Mus’ab: “Aku lupa yang kesepuluh kecuali berkumur.”

Sekali lagi ini adalah bentuk menghilangkan segala kotoran yang melekat di celah kuku, apalagi jika kuku dibiarkan panjang.

2. Cara Dan Benda Untuk Memotong Kuku

Menurut Imam an-Nawawi, sunah memotong kuku bermula jari tangan kanan keseluruhannya dan dimulai dari jari kelingking lalu sampai pada ibu jari, kemudian tangan kiri dari jari kelingking ke ibu jari.

Sementara alat untuk memotong kukunya dapat menggunakan gunting, pisau atau benda khas yang tidak menyebabkan mudharat pada kuku atau jari seperti alat pemotong kuku.

Setelah selesai memotong kuku, sebaiknya segera membasuh tangan dengan air. Ini karena jika seseorang itu menggaruk anggota badan, dikahawatirkan akan

menyebabkan penyakit kusta.

Menurut kitab al-Fatawa al-Hindiyah dalam mazhab Hanafi bahawa makruh memotong kuku dengan menggunakan gigi juga akan menyebabkan penyakit kusta.

3. Waktu Memotong Kuku
Sebagaimana diriwayatkan daripada Anas bin Malik:

“Telah ditentukan waktu kepada kami memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu ari-ari agar kami tidak membiarkannya lebih daripada empat puluh malam.”

“Adapun menurut Imam asy-Syafi’e dan ulama-ulama asy-Syafi’eyah, sunah memotong kuku itu sebelum mengerjakan sembahyang Juma’at, sebagaimana disunatkan mandi, bersiwak, memakai wewangian, berpakaian rapi sebelum pergi ke masjid untuk mengerjakan shalat Juma’at,” (Hadis riwayat Muslim)

4. Menanam Potongan Kuku
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Fath al-Bari, bahawa Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhu menanam potongan kuku.

5. Memotong Kuku Ketika Haid, Nifas Dan Junub
Menurut kitab Al-Ihya’, jika seseorang dalam keadaan junub atau berhadas besar, janganlah dia memotong rambut, kuku atau memotong sesuatu yang jelas daripada badannya sebelum dia mandi junub. Kerana segala potongan itu di akhirat kelak akan kembali kepadanya dengan keadaan junub.

6. Memanjangkan Kuku Dan Mewarnainya ( Cutex)
Tabiat memanjangkan kuku dan membiarkannya tanpa dipotong adalah perbuatan yang bertentangan dengan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihhi wasallam, karena beliau menggalakkan supaya memotong kuku. Jika dibiarkan kuku itu panjang, niscaya banyak perkara-perkara yang membabitkan hukum seperti wudhu, mandi wajib dan sebagainya.

Adapun dalam hal mewarnai kuku (cutex), perempuan yang bersuami adalah haram mewarnai kuku jika suaminya tidak mengizinkan. Sementara perempuan yang tidak bersuami pula, haram baginya mewarnai kuku. Demikian juga jika pewarna itu diperbuat dari benda najis karena akan menghalang daripada masuknya air saat berwudhu.

Ta’aruf Revolusioner

Oleh: Anne Adzkia Andriani

Ba’da Ta’aruf: Awal Sebuah Perjuangan

Memasuki usia 22 tahun, tepatnya setelah lulus sarjana, undangan pernikahan dari teman-teman se-angkatan kuliah saya mulai datang satu persatu. Belum terlalu banyak memang, karena selepas sarjana, kami belum sepenuhnya tamat kuliah. Kami, para mahasiswa fakultas kedokteran gigi harus melanjutkan ke program profesi (ko-ass) usai wisuda sarjana. Sehingga kami masih harus berkutat dengan dunia perkuliahan ditambah tugas-tugas klinik yang akan membuat kami super sibuk, dan menikah pun belum menjadi target kami.
Bagaimana dengan saya? Saya termasuk ke dalam golongan kecil mahasiswa yang ingin menikah sebelum lulus dokter gigi. Entah kenapa, saya ingin sekali cepat-cepat menggenapkan separuh agama. Mungkin efek dari buku-buku tentang pernikahan yang sering saya baca sehingga membuat saya “ngebul” ingin menikah saat masih kuliah.

Beberapa dari teman yang telah menikah banyak yang meng-inspirasi saya. Kebanyakan dari mereka menikah melalui proses yang syar’i, yaitu menikah tanpa pacaran. Saya yang sedang bersemangat menggali ilmu agama, mempunyai impian bisa menikah dengan cara seperti itu. Namun saya meragukannya. Kenapa?

Dalam sejarah keluarga, belum pernah saya lihat ada yang menikah tanpa pacaran sebelumnya. Berarti kelak saya akan menjadi pioneer dalam menjalankan proses ini. Tentu saja, segala bentuk perjuangan melaksanakannya terpampang jelas dihadapan. Pasti tak akan mudah untuk memulai sebuah proses baru yang sebelumnya belum pernah terjadi di keluarga. Tak hanya itu, saya juga masih bingung harus memulai dari mana untuk memperkenalkan cara baru dalam menikah ini kepada keluarga. Yang pasti, semua harus saya komunikasikan jauh-jauh hari sebelum benar-benar memasuki proses itu. Agar keluarga, terutama orang tua  tidak kaget.

Akhirnya, perlahan-lahan saya coba membuka sebuah wacana tentang proses menuju pernikahan yang bernama ta’aruf. Orang pertama yang akan saya ajak bicara adalah mama. Saya pikir, pembicaraan antara wanita akan lebih mudah dibanding dengan pria. Jika mama sudah saya “pegang”, insya Allah beliau akan membantu ketika saya berkomunikasi dengan papa nanti.

Ternyata perkiraan saya yang menduga akan mudah menjelaskan tentang ta’aruf ini, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sulit membuat mama yakin bahwa sebuah pernikahan bisa terjadi melalui ta’aruf, yang nota bene calon pasangan tidak akan ada interaksi yang intens selayaknya orang pacaran.

“Bagaimana teteh (begitu panggilan mama pada saya) yakin kalau dia orang yang tepat dan baik untuk jadi suami? Sedangkan orang yang pacaran bertahun-tahun saja banyak yang gagal dalam pernikahannya.” Begitu salah satu pertanyaan mama.

Saya mencoba memberikan penjelasan yang mungkin akan mudah diterima oleh logika beliau.

“Dalam proses ta’aruf, seorang laki-laki dan perempuan diberi kesempatan untuk saling mengenal kok, Ma. Hanya caranya yang beda. Mereka nggak boleh berdua-duaan aja, tanpa ada muhrim yang mendampingi, “ ujar saya singkat. Untuk sementara pertanyaan mama berhenti. Tapi saya tahu, beliau masih belum puas dengan jawaban saya yang kelewat sederhana.

Pada kesempatan lain, mama sempat mengajukan pertanyaan lagi, “Orang nikah itu kan harus saling cinta. Kalau cuma ketemuan sedikit-sedikit gitu, pake ada bodyguard lagi, mana bisa jatuh cinta dan tumbuh rasa kasih sayang?”

Jujur, saat itu saya belum bisa menjawab semua pertanyaan mama dan papa. Karena apa yang saya ketahui tentang ta’aruf baru dalam tahap teori singkat, yang saya peroleh dari buku. Bukan berdasarkan pengalaman. Akhirnya beberapa kali saya menunda memberi jawaban.

Keraguan tentang proses ta’aruf tak hanya muncul dari mama, tapi juga dari papa. Hanya papa sepertinya percaya kalau apapun jalan yang saya pilih kelak, sudah saya pikirkan konsekuensinya.

Kecemasan mereka serta pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul dari orang tua sempat memengaruhi saya. Menumbuhkan butir-butir keraguan. Meskipun azzam sudah saya tanamkan, namun sesekali ketika kondisi ruhiyah turun keraguan itu hadir. Kekuatan dan keyakinan kembali menguat melalui dorongan dari teman-teman dan murabbiyyah saya.

Akhirnya meskipun pertanyaan kerap disuguhkan pada saya dari orang tua dan anggota keluarga lain, saya tak gentar. Tak peduli dianggap keras kepala atau apapun, saya bertekad akan tetap melaju dengan cara yang saya anggap baik ini. Sebab seiring dengan pemahaman tentang ta’aruf saya ketahui, saya sudah menghapus kamus pacaran dalam hidup saya. Titik.

Ta’aruf Pertama: Sebuah Perubahan

Sebenarnya proses ta’aruf yang saya lakukan dengan ikhwan ini (sekarang telah menjadi suami saya), bukanlah yang pertama. Pernah saya melakukan beberapa ta’aruf sebelumnya. Namun ketika itu, saya tidak terbuka sepenuhnya pada orang tua bahwa saya sedang ta’aruf dengan si A atau si B. Entah kenapa? Mungkin karena masih memiliki sebentuk keraguan terhadap ikhwan-ikhwan tersebut. Jadi paling-paling saya cerita sekilas pandang saja.

“Ma, Anne lagi kenalan nih sama cowok (kalau pakai istilah ikhwan, beliau belum paham). Orangnya begini begini begini, trus aktivitasnya bla bla bla. Orang tuanya titik titik titik, dan lain-lain.”

Lalu respon mama adalah, “Orang mana? Kuliahnya dimana? Kerja dimana? Orang tuanya pekerjaannya apa?”

Huh. Kok pertanyaannya seputar materi semua sih? Mama matre nih, begitu pikir saya. Karena sudah tampak ada sinyal-sinyal ketidaksetujuan, akhirnya saya malas melanjutkan proses itu. Toh kalaupun berlanjut, lalu orangtua tidak setuju, buat apa?

Pertanyaan serupa hampir selalu diutarakan mama setiap kali saya mengajukan kriteria seorang ikhwan. Ternyata pemahaman mama masih seputar materi yang akan membuat sebuah pernikahan itu sukses. Pfiuuh,  pe-er saya masih banyak nih.

Pelan-pelan saya sering bercerita pada mama kisah pernikahan beberapa orang teman yang sukses melalui ta’aruf. Perlahan pula pandangan mama mulai terbuka dan membuat diskusi saya malah mengasyikan. Alhamdulillah usaha saya, dengan dibantu do’a tentunya, telah membuahkan hasil. Ya, saya kerap berdoa pada Allah meminta semoga Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati berkenan membuka hati mama dan papa mengenai jalan yang saya pilih untuk menuju pernikahan. Subhanallah, doa saya terkabul.

Ketika kembali datang seorang ikhwan yang menyatakan ingin berproses menuju pernikahan, saya langsung ceritakan pada orang tua. Secara detail saya komunikasikan perihal tentang ikhwan ini dan tata cara ta’aruf yang saya jalankan.

Begitulah ketika Allah menjadikan semuanya mudah dan indah pada waktunya, sejak mulai berproses dengan ikhwan ini segala kemudahan Allah tunjukkan. Mulai dari ketetapan hati saya untuk terus melanjutkan proses di tengah kesibukan ko-ass yang sedang memasuki masa akhir, orang tua juga mendukung sepenuhnya ta’aruf saya dengan ikhwan ini. Padahal ada beberapa poin yang menurut saya berada di luar kriteria materi orang tua saya.

Pertama, ikhwan ini adalah mahasiswa. Ya, kami sama-sama masih kuliah, dan sudah pasti belum memiliki maisyah (penghasilan) tetap. Padahal biasanya urusan pekerjaan adalah hal utama yang ditanyakan oleh orang tua, terutama oleh mama.

Kedua, latar belakang orang tua. Ta’aruf yang saya jalankan ini terbilang aneh dan unik. Biasanya dalam sebuah proses ta’aruf, pasangan ikhwan dan akhwat akan bertemu untuk bertukar informasi tentang kondisinya masing-masing secara lengkap, atau paling tidak kami mencari informasi melalui orang lain yang dapat dipercaya.

Tapi tidak dengan kami. Saat itu saya masih sibuk dengan urusan kuliah dan klinik untuk segera menyelesaikan ko-ass, sedangkan sang ikhwan pun sedang sibuk dengan urusan Tugas Akhir (skripsi)-nya. Urusan ta’aruf menjadi terpinggirkan, sehingga

tidak dilakukan secara maksimal. Kami hampir tidak pernah bertemu khusus untuk berkomunikasi ataupun bertukar informasi. Saya sendiri merasa cukup dengan informasi yang ada, tanpa perlu mencari tahu lagi hal-hal yang lebih mendalam, karena saya merasa telah mengenalnya melalui sebuah organisasi sosial.

Sehingga ketika orang tua bertanya bagaimana keadaan keluarganya mulai dari agama, ekonomi, latar belakang budaya dan sebagainya, saya blank! Anehnya, orang tua tidak mempermasalahkan. Maka ta’aruf pun terus berjalan selama sebulan. Ya, hanya sebulan.

Tepat empat minggu berikutnya, si dia beserta keluarganya silaturrahim ke rumah kami. Ada yang lucu dan sempat membuat shock. Jumlah yang datang lumayan banyak. Awalnya saya pikir hanya kedua orang tua dan ikhwannya saja yang akan datang, ternyata semua kakak-kakaknya yang hampir seluruhnya telah berkeluarga datang. Berseragam batik lengkap.

Tak hanya silaturrahim, mereka juga meng-khitbah saya. Dilanjutkan dengan menentukan waktu pernikahan. Saya kaget, apalagi orangtua. Secepat inikah sebuah proses ta’aruf itu? Padahal yang akan saya masuki nanti adalah sebuah gerbang pernikahan, yang akan saya jalani di sepanjang sisa usia saya.

Sempat mama dan papa kembali mempertanyakan kemantapan hati saya. “Teteh udah yakin dengan calon suami pilihan teteh ini?” tanya mama.

“Insya Allah,” jawab saya singkat.

“Nikah itu sekali untuk selamanya lho, jangan sampai nyesel nanti,” ujar mama lagi.

“Iya, Ma. Insya Allah nggak akan nyesel. Anne udah siap.”

Begitulah proses ta’aruf itu berjalan, hanya sebulan hingga menuju khitbah dan juga sebulan menuju akad.

Hal ini menjadi sebuah kejadian revolusioner dalam keluarga saya, karena budaya pacaran masih menjadi kebiasaan pasangan-pasangan yang ada di keluarga sebelum melangsungkan pernikahan. Ada yang 6 bulan, 1 tahun, 3 tahun bahkan belasan tahun. Sementara saya dan suami menjalankan proses ta’aruf hanya 2 bulan hingga dilangsungkan akad nikah.

Banyak yang terheran-heran dengan proses ini. Tak sedikit yang berkomentar lucu, karena saya dan calon suami dianggap tidak serius seperti layaknya orang mau menikah. Bahkan dalam mempersiapkan prosesi akad pun kami seperti kurang serius dan tampak tidak sibuk mempersiapkannya.

Bagaimana tidak, saat itu saya tengah berjibaku dengan urusan pasien di klinik ko-ass, seminar dan ujian. Calon suami sedang berjuang menyelesaikan Tugas Akhir dan akan segera melaksanakan sidang akhir tepat sehari sebelum tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan. Terus terang saja, konsentrasi kami terpusat pada urusan kuliah masing-masing. Sampai-sampai cincin pernikahan pun hampir lupa disiapkan.

Sehari sebelum akad saya mendapat SMS dari calon suami, “Assalamu’alaikum. Teh Anne (begitu dia memanggil saya sebelum menikah), saya belum siapin cincin. Bisa nggak kita ketemu langsung di toko emas A buat nyocokin cincin buat besok?”

What! Saya kaget bukan main. Dia mengirimi saya SMS sekitar jam 4 sore. Hari itu adalah hari jum’at dimana biasanya toko-toko tutup lebih awal, dan besok kami akan menikah.

“Ketemu kapan? Sekarang?” tanya saya, pura-pura tulalit.

“Iya, sekarang. Kan nikahnya besok. Sebentar lagi tokonya tutup, trus saya mau sidang TA jam 7 malam. Jadi kita harus ketemu secepatnya.”

“Akhi aja yang beli cincinnya deh,” pinta saya.

“Saya kan nggak tahu seleranya ukhti seperti apa, trus kalo ukurannya gak pas gimana?”

Akhirnya saya segera menuju tempat yang dimaksud dengan ditemani seorang sahabat perempuan saya. Bertemu seorang ikhwan sendirian, meskipun yang insya Allah akan menjadi suami saya besok, saya tidak berani. Apalagi ternyata sejak kami berproses ta’aruf saya selalu canggung ketika berhadapan dengannya. Padahal sebelumnya kami sering bertemu dalam forum organisasi.

Alhamdulillah sebuah cincin sederhana yang menjadi salah satu mahar dalam akad nikah besok telah kami dapatkan. Kejadian ini saya rahasiakan pada orang tua, sebab kalau mereka sampai tahu kami hampir lupa urusan mahar, bisa-bisa membuat mereka geleng-geleng kepala.

Esoknya sebuah akad nikah sederhana dilaksanakan. Melalui sebuah proses ta’aruf singkat akhirnya kami resmi menjadi suami istri. Ada perasaan tidak percaya, tapi semua nyata. Saya berhasil menjalankan sebuah pernikahan tanpa pacaran, sesuatu yang semula dianggap mustahil oleh hampir seluruh anggota keluarga.



Ta’aruf Kedua: Sebuah Pembuktian

Perjalanan ta’aruf revolusioner ini tidak serta merta usai setelah saya menikah. Karena menikah melalui ta’aruf yang singkat menyisakan banyak pertanyaan tentang kepribadian lelaki yang menjadi suami saya ini. Sebuah ta’aruf lanjutan harus saya dan suami lakukan.

Disamping itu saya yakin, keluarga masih menyangsikan bentuk pernikahan yang saya jalankan.  Di luar sana, banyak kasus pernikahan di keluarga dan masyarakat yang hanya bertahan seumur jagung, padahal mereka telah berusaha saling menyesuaikan diri melalui proses bernama pacaran. Sedangkan pernikahan saya dan suami tanpa melewati proses penyesuaian sebelumnya.

Oleh karena itu perjuangan belum berakhir. Saya harus bisa menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diawali dengan niat yang suci dan dijalankan sesuai aturan Allah, akan melahirkan nilai barakah. Barakah itu kami harapkan diberikan Allah tak hanya selama proses upacara pernikahan, namun terus mengalir disepanjang hayat kebersamaan saya dan suami.

Kadang keluarga masih tampak ragu akan perjalanan pernikahan saya, lalu kembali melontarkan tanya. Ketika masih proses ta’aruf pertama dulu saya maklum, tapi kini saya bingung. Kok bisa? Padahal saya dan suami sering menunjukkan kemesraan dihadapan mereka.

“Teh, bagaimana rasanya menikah dengan seseorang yang nggak begitu kenal sebelumnya? Memangnya bisa menikah tanpa cinta?” begitu salah satu pertanyaan seorang saudara sepupu yang terlontar pada saya.

“Siapa bilang kami menikah tanpa cinta?” tegas saya. “Memang di awal nikah saya belum merasakan ada cinta, melainkan sebentuk penyerahan diri sepenuhnya pada ketetapan Allah. Saya yakin kok, dia adalah jodoh yang Allah pilihkan, yang juga merupakan jawaban dari doa-doa saya.  Sebab sebelum akad nikah terjadi, saya nggak pernah berhenti berdoa agar Allah memberikan jalan yang terbaik. Dan ternyata inilah jalan terbaik yang saya dapatkan. Terbukti pernikahannya lancar tanpa hambatan yang berarti. Lalu tentang cinta nih. Percaya atau nggak, saya jatuh cinta pada suami usai sholat berjamaah pertama kalinya setelah akad.”

Saya berusaha menjelaskan semampu saya, dan berharap saudara sepupu saya yang bertanya serta anggota keluarga yang lain puas. Tak hanya puas, saya berharap mereka mengerti dan memahami bahwa pernikahan tanpa pacaran bisa terjadi, bahkan menunjukkan sebuah kesempurnaan ibadah  bagi yang menjalankannya.

Ya, pernikahan adalah ibadah. Alangkah sayangnya apabila niat yang suci ini tidak ditunjang oleh proses yang diridhai Allah. Adalah menjadi harapan saya dan suami, pernikahan yang kami bangun ini menjadi sebuah sarana da’wah kami di keluarga. Ta’aruf revolusioner yang menjadi sebuah pencerahan bagi siapapun yang sebelumnya meragukannya.

Pernikahan saya dan suami kini menginjak tahun ke delapan. Sebuah perjalanan penuh liku dan tak luput dari ujian. Seperti layaknya pernikahan pada umumnya, tak sedikit badai dan cobaan mencoba menggoyahkan ikatan pernikahan kami. Namun sebuah azzam yang sejak awal kami tancapkan, selalu mampu mengembalikan kami kepada mainstream yang kami bangun.

Menjaga sebuah pernikahan merupakan da’wah terbesar kami, apalagi dengan hadirnya buah hati, semakin memperkuat azzam kami untuk menorehkan catatan sejarah dengan mewujudkan sebuah pernikahan revolusioner yang berangkat dari ta’aruf revolusioner. Amiin Ya Rabbal Alamin.

Allah dulu, Allah lagi, Allah terus…

“Allah dulu, Allah lagi, Allah terus…” Ungkapan ini pernah terpopulerkan oleh seorang ust kenamaan di negeri ini. Ungkapan ini pula yang memang seharusnya ada dalam benak kaum Muslimin. Ketika iman sudah ada di dada mereka, maka Allah harus selalu ia imani kehadirannya dalam setiap jenak langkah hidupnya. Dalam suka maupun duka, mudah atau pun sulit, sehat pun ketika sakit. Allahlah yang telah menciptakan kita, yang akan mematikan kita dan akan membangkitkan kita nanti di Hari Akhir untuk meminta pertanggungjawaban atas setiap amal kita di dunia.
Saat kita di dunia, kadang sulit mendera, sakit tiba, kepayahan dirasakan. Pada saat itu pula terkadang ketika iman tak kuat, kuasa pun akhirnya menggiring kita bukan pada Sang Khaliq, Allah Swt, tetapi lebih sering mencaci dan menolak segala uji yang Dia beri.

Sering diantara kita ketika mudah datang, kita terlupa tuk bersyukur. Tapi ketika sulit datang, kita pun menyalahkan uji yang sedang Allah beri. Padalah ketika ada persoalan dalam hidup kita, Allah sudah hadirkan setiap jawab di sekitar kita. Tapi kita tak pernah menyadari dan tak pernah peduli padaNya. Akhirnya, kita pun terus dirundung sulit dan nestapa.

Dalam sebuah kesempatan Rasulullah Saw pernah berpesan kepada sahabat Abbas ra.: “Wahai Abbas, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat ini sebagai nasihat bagimu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Dia pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan selalu berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau meminta (urusan dunia dan akhirat), mintalah kepada Allah, dan apabila menginginkan pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ketahuilah, bahwa apabila seluruh umat manusia berkumpul untuk
memberi manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang dituliskan oleh Allah  di dalam takdirmu itu. Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikitpun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi).

Sungguh Allah Swt pemilik diri kita, pemilik dunia ini, pemilik jagat raya ini. Allah juga yang telah menyiapkan berbagai cara agar kualitas kita lebih baik. Baik dalam bentuk ujian kesulitan atau kemudahan. Maka, yakinlah selalu pada Allah Swt bahwa apa yang Dia berikan itu untuk menjadikan kita lebih berkualitas.

Allah Swt janjikan, “Karena sesungguhnya BERSAMA KESULITAN itu ada KEMUDAHAN. Sesungguhnya BERSAMA KESULITAN itu ada KEMUDAHAN.” (QS. Alam Nasyrah: 5-6)

Ketika sulit mendera, yakinlah Allah sudah sediakan kemudahannya. Ketika masalah ada di hadapan, yakinlah bahwa Allah sudah menyediakan solusinya. Ketika kegagalan terjadi, yakinlah bahwa Allah sudah mempersiapkan kesuksesan yang jauh lebih besar. Kuncinya hanya satu, Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus. Awali setiap langkah dengan memohon kepada Allah Swt. Awali impian dengan doa kepada Allah, mohon petunjuk yang terbaik. Ketika mengusahakannya, sertakan juga Allah, Allah lagi. Dan ketika ada sulit di hadapan, kembalikan pada Allah, Allah terus…

Semoga bagaimana pun kehidupan kita, selalu menjadikannya sebagai ujian untuk meningkatkan kualitas hidup kita. Sekali lagi, kuncinya Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus.

Rahasia Sehat dan Keajaiban Shalat Dhuha


 Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap tulang dan persendian badanmu ada sedekahnya, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap amar ma’ruf adalah sedekah, dan setiap nahi munkar adalah sedekah. Maka yang dapat mencukupi hal itu hanyalah dua raka’at yang dilakukannya dari sholat dhuha,” (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).
Meraih sehat tidak hanya dengan cara berolahraga, tapi bisa diraih lewat beribadah, salah satunya dengan ibadah sholat dhuha. Rasulullah Saw bersabda “Shalat dhuha itu shalat orang yang kembali kepada Allah, setelah orang-orang mulai lupa dan sibuk bekerja, yaitu pada waktu anak-anak unta bangun karena mulai panas tempat berbaringnya.” (HR. Muslim).

Berdasarkan hadist tersebut waktu utama Shalat Dhuha adalah diakhirkan yaitu ketika matahari telah mulai menyengat, pasir mulai panas sehingga panasnya dirasakan oleh kaki anak-anak unta. Jika menurut kondisi di Indonesia antara pukul 10-11.00, atau lebih dari itu tapi hati-hati terhadap waktu haram yang muncul sekitar pukul 11.30 sesuai waktu dzuhurnya. Pada waktu-waktu tersebut tubuh memerlukan energi dan harus bersiap menghadapi strees yang menempa.

Oleh karena itu pada waktu-waktu tersebut kita membutuhkan peregangan untuk kesiapan kita menyongsong hari penuh tantangan. Caranya adalah dengan melaksanakan shalat Dhuha. Jika tidak memungkinkan dikerjakan pada waktu-waktu utama, shalat dhuha bisa dilakukan di awal sebelum melakukan aktivitas harian.

Apa hubungannya peregangan dengan shalat Dhuha? Rasulullah Saw menyebutkan peregangan dengan ungkapan santun yaitu “Hak dari tiap persendian”. Seperti yang diriwayatkan Buraidah r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda “Dalam tubuh manusia terdapat 360 persendian dan ia wajib bersedekah untuk tiap persendiannya.”

Para sahabat bertanya, “Siapa yang sanggup, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ludah dalam masjid yang dipendamnya atau sesuatu yang disingkirkannya dari jalan. Jika ia tidak mampu, maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupinya” (H.r. Ahmad dan Abu Dawud).

Dr. Ebrahim Kazim, seorang dokter,

peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy menyatakan, “Repeated and regular movements of the body during prayers improve muscle tone and power, tendon strength, joint flexibility and the cardio-vascular reserve.” Gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.

Itulah peregangan dan persiapan untuk menghadapi tantangan, tapi bedanya dengan olah raga biasa adalah: pahalanya yang luar biasa! Abu Darda’ r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman : “wahai anak adam, shalatlah untuk-ku empat rakaat dari awal hari, maka aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya” (shahih al-jami: 4339).

Selain sebagai peregangan untuk menyongsong hari yang penuh tantangan, Shalat Dhuaha mampu menghilangkan resiko stress yang timbul karena kesibukan yang kita lalui. Dengan melaksannakan Shalat Dhuha kita rehat sejenak dari segala aktifitas sehingga kita merasa rilek dan stres pun terhindarkan.

Dr. Ibrahim Kazim menyatakan bahwa secara bersamaan, ketegangan di pikiran akan berkurang disebabkan komponen spiritual saat sholat, dengan adanya sekresi enkefalin, endorphin, dinorfin dan semacamnya “Simultaneously, tention is relieved in the main due to the spiritual component, assisted by the secretion of enkephalins, endorphins, dynorphins, and others.”

Enkefalin dan endorphin merupakan zat sejenis morfin, termasuk opiat. Efek keduanya tidak berbeda dengan opiat lainnya. Zat semacam ini meredakan ketegangan. Bedanya, enkefalin dan endorphin merupakan zat alami yang diproduksi oleh tubuh, sehingga lebih bermanfaat dan terkontrol.

Jika morfin non-alami bisa memberi rasa tenang dan senang namun kemudian ketagihan dan memberikan efek negatif bagi tubuh, maka endorphin dan enkefalin tidak. Zat ini memberi rasa tenang, rileks, bahagia, lega secara alami. Hasilnya, seseorang tampak jauh lebih pede, optimis, hangat dan menyenangkan.
Marilah kita amalkan Shalat Dhuha sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah Swt dan rasakan manfaatnya yang luar biasa bagi kesehatan!

Powered By Blogger

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More